Pasaman merupakan salah satu
kabupaten di Sumatera Barat, disanalah ayah saya dilahrikan, tepatnya di
mandiangin pada tanggal 6 Mei 1961. Dilahirkan ditengah-tengah keluarga
yang sangat-sangat sederhana, ayah tidak tumbuh layaknya anak-anak kampung lainnya.
Diusianya yang kedua tahun, ia terjangkit sakit kulit yang sangat parah disekujur
tubuhnya. Penyakit itu menyebabkan
kulit-kulitnya mengelupas dengan sendirinya, dan tidak hanya itu penyakit itu
mengeluarkan bau yang tidak sedap. Penyakit
ini melekat ditubuhnya selama 2 tahun, tepatnya hingga beliau berusia 4 tahun.
Pengalaman teruruknya dalam menghadapi penyakit ini adalah saat telinga sebelah
kirinya hampir ‘putus’. Beliau juga terpaksa harus menjalani masa
kanak-kanaknya dengan sehelai selendang(kain) yang berfungsi untuk mengusir
lalat yang mencoba hinggap ditubuhnya.
Ayahnya(kakek saya) adalah
seorang pencari kayu bakar, penebang rotan dan seorang pedagang. Yah,
setidaknya itulah usaha kakek yang masih dingat oleh ayah saya saat masih
kecil. Usaha-usaha tersebut dilakukan untuk membiayai pengobatan penyakit
beliau. Ayahnya(kakek saya) bernama Bujang dan ibunya(nenek saya) bernama
ramadan. Beliau merupakan anak kedua dari keluarga itu, beliau mempunyai kakak
perempuan bernama Meri, adik laki-laki(Armen), adik
perempuan(Nidar&Andesti). Dengan segala ‘kesakitan’ dimasa kecilnya, ayah
tumbuh sebagai anak yang tangguh, dan nantinya akan menjadi yang terbaik di
akademis dibanding dengan saudara-saudaranya.
Diusianya lima tahun beliau
mulai tinggal di rumah bibinya di pinggiran pantai mandiangin. Bibi beliau
sudah menikah, namun tak kunjung mempunyai seorang anak, maka dari itu beliau
layaknya anak baginya. Selain itu juga, bibi beliau, lebih berpunya dari segi
ekonomi, sehingga ini sangat membantu proses sekolah beliau. Selama beliau
mengenyam pendidikan ditingkat Sekolah Dasar, biaya pendidikan beliau
ditanggung oleh bibinya. Namun keadaan berubah saat beliau menginjak SMP,
beliau harus mencari uang sendiri untuk biaya tambahan sekolahnya. Setiap jam 3
sore, beliau pergi ke pantai untuk mengumpulkan kerang-kerang yang terdampar
dipantai karena disapu ombak, dilain waktu ia mencari kayu bakar untuk dijual.
Beliau juga sempat bekerja sebagai pemetik cengkeh hingga ia tamat dari SMP.
Memasuki Sekolah Menengah
Atas(SMA) beliau pindah ke kota Padang. Disana beliau ‘menumpang hidup’ di
rumah makan seorang tetangganya dulu di
kampung. Saat masih kelas 1 beliau mendapatkan nilai yang baik, sehingga ketika
kelas 2 SMA, beliau masuk dikelas 2 IPA 5, kelas yang berisi orang-orang pintar
atau yang sering kita sebut dengan ‘kelas unggulan’. Akan tetapi kesibukannya
mencari uang untuk sekolah, baik itu membantu di rumah makan tempatnya tinggal,
maupun menjual rokok, membuat nilainya turun drastis. Ia sempat mendapatkan 7
nilai merah dari 13 mata pelajaran. Alhasil walikelasnya pada saat itu sudah
lepas tangan. Beruntung saat itu teman-teman sekelasnya sangat baik, dan tidak
membiarkan satu orangpun yang tinggal kelas. Mereka membantunya untuk mengejar
ketertinggalannya dalam pelajaran, hingga ia pun naik ke kelas 3 dan akhirnya
lulus dari SMA.
Ayah merupakan satu-satunya yang mencapai
jenjang perguruan tinggi, diantara saudaranya yang lebih memilih tinggal di
kampung dan mencari hidup disana. Ayah kuliah di Institut Keguruan & Ilmu
Pendidikan (IKIP Padang) yang sekarang sudah berganti nama. Ayah kuliah di
jurusan mesin. Dan perjuangannya semasa kuliah pun tak lebih mudah dibanding
saat masih sekolah. Ia masih harus bekerja demi mencukupi biaya kuliah.
Berbagai macam usaha ia jalani, asalkan itu halal akan dilakukan dengan penuh
semangat. Pada masa awal kuliahnya beliau menjadi kernet angkot. Beliau juga
menjadi penjual koran, dengan sepeda ‘butut’ tanpa rem ia mengelilingi kota
Padang berjualan koran. Hingga pernah suatu hari sandal yang ia kenakan habis
dipakai untuk mengrem sepeda lalu telapak kakinya pun terkelupas. Namun hal itu
tidak membuatnya patah semangat samapai akhirnya ia berhasil menyelesaikan
studi S1 nya dalam waktu 5 tahun. Akhirnya ia mendapatkan gelar, Drs. didepan
namanya, Drs. Alizar.
Setelah selesai kuliah, sebelum
merantau ke Palembang, beliau sempat mengajar di sebuah sekolah di kampungnya
selama satu tahun. Beliau pindah ke Palembang dan mengajar di SMK GAMA, Plaju.
Ditahun-tahun pertama beliau tinggal di rumah saudaranya di pakjo, namun karena
saat itu disana kesulitan air beliau diajak oleh temannya, seorang penjual sate
padang, untuk tinggal ditempatnya, di lorong roda, Jalan merdeka. Selama beberapa
tahun tinggal di sana, akhirnya hari itu tiba, yaitu saat-saat ayah
dipertemukan dengan ibu. Di hari rabu itu, melalui paman dari ibu yang saat itu
mengantarkan sebuah undangan sebuah acara, ayah ditawari untuk bertemu dengan
keponakan orang itu(Ibu).
Beberapa setelah tawaran itu,
tepatnya hari jum’at, ayah mendatangi rumah makan milik orang itu, dimana ibu
bekerja di sana. Ibu adalah anak dari Bagindo Ibrahim & Sa’adah. Ibu
merupakan tamatan SMEA. Pertemuan ini adalah pertemuan pertama, di pertemuan
kedua, kedua belah pihak telah setuju untuk menikah. Dan diawal tahun 1991
mereka menikah. Beberapa bulan ayah dan ibu tinggal di produxem, sebelum
akhirnya memutuskan pindah ke bom baru. Setahun kemudian ibu melahirkan
ku.
Pada
tahun 1993 kami pindah ke rumah kami yang sekarang, di komplek griya harapan A,
perumnas, Kecamatan Sako. Dan setahun kemudian adik pertamaku lahir. Kami
tumbuh dan berkembang bersama di sini.
Ditahun
2003 ayah pindah mengajar ke SMK Negeri 4 Palembang. Ayah merasa sangat nyaman
di tempat barunya, karena ada beberapa teman mengajarnya yang juga tinggal di
komplek yang sama, sehingga proses adaptasi menjadi lebih lancar. Ditambah lagi
ayah bertemu dengan Pak Darwin, seseorang yang sekarang menjadi sanhabat
karibnya di tempatnya mengajar. Ditahun 2008 ayah diangkat menjadi Kajur(Ketua
Jurusan) teknik Pemesinan di SMK Negeri 4 dan masih menjabat hingga saat ini.
Namun akhir tahun ajaran ini, ayah berencana untuk melepas jabatan tersebut.
Ayah juga tidak berniat untuk pindah ke sekolah lain, dan akan pensiun di SMK
Negeri 4 Palembang.